Pengunaan SKKNI terutama untuk (1) merancang dan mengimplementasikan pelatihan kerja terutama dalam penyusunan program dan kurikulum pendidikan/pelatihan berbasis kompetensi (sampai dengan modul-modul pembelajarannya), (2) melakukan asesmen (penilaian) tingkat keterampilan dan keahlian terkini yang dimiliki oleh seseorang sesuai bidangnya melalui materi uji kompetensi pada lembaga sertifikasi profesi (LSP) serta (3) menilai keluaran hasil pelatihan. SKKNI ditetapkan oleh Menteri Ketenagakerjaan, atas usulan dari kementerian teknis yang membidangi, bersama stakeholders dari industri, asosiasi, dan akademik.
Untuk meningkatkan kompetensi kerja dan daya saing Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia, Pemerintah menerapkan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia atau SKKNI yang digunakan sebagai acuan didalam sebuah pembinaan SDM. SKKNI adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan/atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan. SKKNI dikembangkan melalui konsultasi dengan industri terkait, untuk memastikan kesesuaian kebutuhan SDM di tempat kerja.
Pengunaan SKKNI terutama untuk (1) merancang dan mengimplementasikan pelatihan kerja terutama dalam penyusunan program dan kurikulum pendidikan/pelatihan berbasis kompetensi (sampai dengan modul-modul pembelajarannya), (2) melakukan asesmen (penilaian) tingkat keterampilan dan keahlian terkini yang dimiliki oleh seseorang sesuai bidangnya melalui materi uji kompetensi pada lembaga sertifikasi profesi (LSP) serta (3) menilai keluaran hasil pelatihan. SKKNI ditetapkan oleh Menteri Ketenagakerjaan, atas usulan dari kementerian teknis yang membidangi, bersama stakeholders dari industri, asosiasi, dan akademik.
0 Comments
Sumber daya manusia merupakan hal yang penting di dalam penanganan bukti elektronik yang benar. Standardisasi produk dan proses saja tidak memadai untuk penanganan bukti elektronik. Apalagi mengingat karakteristik bukti elektronik bersifat rentan (fragile), yaitu mudah diubah, dimanipulasi serta dimusnahkan bahkan mudah disebarluaskan sehingga menimbulkan masalah tentang keamanan data. Bila terjadi kesalahan prosedur atau human error dalam proses penanganannya maka potensial bukti dapat mengganggu proses penanganan perkara secara keseluruhan.
Kualifikasi dan kompetensi SDM yang menangani bukti merupakan faktor yang signifikan terhadap keberhasilan proses penanganan bukti elektronik. Istilah "A Man Behind The Gun" merupakan hal yang tidak bisa diabaikan dalam penanganan bukti elektronik. Demikian juga terkait kapasitas ahli digital forensik yang diajukan di persidangan. Seringkali menjadi perdebatan mengenai kompetensi yang harus dimiliki seorang ahli forensik digital, sertifikasi manakah yang harus dimiliki, ataupun kualifikasi manakah yang harus dimiliki. Pengelolaan barang bukti atau manajemen bukti merupakan aspek penting dari sistem peradilan pidana. Setelah diterimanya bukti dari proses penyitaan, penanganan bukti harus bisa memastikan bahwa bukti tersebut tidak berubah, tidak terkontaminasi, atau terdegradasi dan change of custody-nya harus terjaga dengan baik dan benar. Integritas bukti sangat tergantung pada penanganan yang tepat atas barang bukti sejak proses penyitaan, proses eksaminasi sampai dengan ditetapkan status bukti melalui putusan pengadilan, apakah dirampas untuk negara, dikembalikan secara resmi kepada pemiliknya atau dimusnahkan atau dapat disimpan untuk kepentingan perkara lain.
Demikian halnya dalam penanganan bukti elektronik yang memiliki karakteristik khusus dibandingkan dengan bukti konvensional. Karena sifatnya yang rentan (fragile), mudah berubah dan dimanipulasi serta mudah disebarluaskan, maka penanganan bukti elektronik memerlukan persyaratan prosedur yang relatif detil dan rigid, baik dari sisi infrastruktur maupun kompetensi pengelola barang bukti. Bukti elektronik memiliki karakteristik yang berbeda dengan bukti konvensional. Bukti elektronik membutuhkan penanganan khusus atau pemeriksaan yang benar, sehingga bukti tersebut tidak rusak dan tidak berubah integritas datanya. Karakteristik bukti elektronik lainnya adalah bersifat rentan (fragile), yaitu mudah diubah, dimanipulasi serta dimusnahkan bahkan mudah disebarluaskan sehingga menimbulkan masalah tentang keamanan data. Menurut UU ITE bukti elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
Menurut UU ITE, bukti elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan. Karakteristik bukti elektronik berbeda dengan bukti konvensional. Bukti elektronik membutuhkan penanganan khusus atau pemeriksaan yang benar, sehingga bukti tersebut tidak rusak dan tidak berubah integritas datanya. Karakteristik bukti elektronik lainnya adalah bersifat rentan (fragile), yaitu mudah diubah, dimanipulasi serta dimusnahkan bahkan mudah disebarluaskan sehingga menimbulkan masalah tentang keamanan data.
Karena bukti elektronik memiliki sifat volatility (mudah berubah, hilang, atau rusak), maka penanganan bukti elektronik memegang peranan yang sangat penting dan krusial. Jika penanganan keliru, maka sangat dimungkinkan potensial bukti elektronik yang penting dan semestinya ada menjadi berubah atau bahkan hilang. Untuk itu dibutuhkan perangkat keras dan perangkat lunak yang tepat untuk melakukan forensik digital terhadap bukti elektronik tersebut, selain personil yang kompeten dan metoda yang tepat dalam penanganan bukti elektronik. Perkembangan teknologi berdampak signifikan terhadap semua lini kehidupan, tak terkecuali penegakan hukum. Perkembangan teknologi juga berimplikasi pada kesiapan kerangka hukum berupa pengaturan terhadapnya, salah satunya adalah kerangka hukum pengaturan bukti elektronik di Indonesia. Pada awalnya, respon hukum terhadap keberadaan bukti elektronik diatur dalam Pasal 26A UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan bahwa bukti elektronik sebagai bukti petunjuk. Menyusul Undang-Undang lain yang mengakui keberadaan bukti elektronik sebagai alat bukti. Misalnya, UU No. 15 tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang (diperbaharui dengan UU no 5 tahun 2018), UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, UU No. 21 tahun 2007 tentang Perdagangan Manusia, dan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menyatakan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara di Indonesia, sejak itu penggunaan bukti elektronik menjadi hal yang lumrah digunakan dalam persidangan berbagai tindak pidana di Indonesia.
Bukti elektronik memiliki karakteristik yang berbeda dengan bukti konvensional. Bukti elektronik membutuhkan penanganan khusus atau pemeriksaan yang benar, sehingga bukti tersebut tidak rusak dan tidak berubah integritas datanya. Karakteristik bukti elektronik lainnya adalah bersifat rentan (fragile), yaitu mudah diubah, dimanipulasi serta dimusnahkan bahkan mudah disebarluaskan sehingga menimbulkan masalah tentang keamanan data. Menurut UU ITE, bukti elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
Agar dapat diterima sebagai bukti yang sah di persidangan, diperlukan pengaturan lebih lanjut terkait teknis dan prosedur perolehannya, proses akuisisi sampai dengan proses pengamanan bukti sehingga terjaga integritas datanya. Meskipun saat ini, bukti elektronik sudah dipergunakan dalam persidangan namun masih banyak ditemui permasalahan baik dari kapasitas aparat penegak hukum dalam proses penanganan bukti maupun dari sisi regulasi tentang tata kelola bukti elektronik termasuk tentang penanganan, pemeriksaan dan penghapusan atau pemusnahan data bukti elektronik. |
Bidang KerjasamaHalaman berisi informasi mengenai kolaborasi dan kerjasama dengan berbagai pihak meliputi pemerintah, korporasi, akademisi, NGO, dan komunitas. ArchivesCategories
All
|